Suatu kali, ia pergi bermain ke luar rumah. Tindakannya itu ternyata diketahui sang mama. Di depan orang banyak, ia memarahi Wisnu.
“Perasaan waktu itu, jujur, malu ya. Di situ, diperlakukan di depan umum, sakit juga, kecewa…..kelakuan mama ini membuat saya sakit hati, kecewa,” ujar Wisnu.
Berbeda dengan mama, papa adalah orangtua yang jarang sekali marah. Namun, sekali marah, ia bisa bertindak berlebihan.
Mengetahui keberadaan Wisnu, Paman, tante, dan Kakek menyodorkan sebuah penawaran kepada orangtua agar ia bisa diberangkatkan ke Jakarta. Di ibukota nanti, mereka berjanji akan menyekolahkan Wisnu.
Permintaan itu pun diterima oleh papa dan mama. Wisnu pun akhirnya berangkat ke Jakarta.
“Setelah pindah ke Jakarta, ternyata tidak semanis yang saya bayangin ya. Jadi, di sekolah mengalami juga hal-hal seperti itu (perlakuan tidak simpatik), saya bingung, apakah masalahnya pada diri saya sendiri atau orang lain,” ungkap Wisnu.
Hal itu membuatnya galau. Ia menjadi hilang arah. Wisnu kemudian memutuskan untuk bolos sekolah. Awalnya, pihak keluarga di Jakarta tidak mengetahui tindakannya. Namun, sebuah surat dari sekolah membongkar semua apa yang ia selama ini tutup-tutupi.
Geram dengan ulah Wisnu, tantenya berencana untuk memberitahukan perbuatannya itu kepada papa.
“Saya kan udah tahu kalau papa sekali marah, gak tanggung-tanggung. Kalau papa dateng karena kasus ini,bahaya. Akhirnya saya ambil keputusan keluar dari rumah,” kenang Wisnu.
Sebelum kabur dari rumah, Wisnu sempat mengambil uang yang ada di kantong celana kakeknya. Ia kemudian melarikan diri ke Cirebon.
Di Cirebon, Wisnu hidup luntang-lantung. Ia tidak tahu mau kemana. Hal itu terjadi selama kurang lebih satu bulan lamanya.
Makin hari, karena tidak ada penghasilan, duit semakin menipis. Ia pun pergi ke tempat-tempat umum seperti terminal atau pun stasiun kereta untuk merebahkan badan atau sekedar beristirahat.
Ketika sedang berada di suatu warung, ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang bersantai di sana. Mereka pun mengobrol. Dalam perbincangan, Wisnu kemudian menawarkan sebuah pekerjaan yakni jualan asongan. Tawaran itu diterima.
Namun, lagi-lagi Wisnu mengalami kekecewaan. Uang sudah keluar banyak keluar, tetapi orang-orang tersebut jarang menyetor. Kalau pun menyetor, pasti selalu kurang. Orang-orang yang menjadi pekerjanya kemudian meninggalkan Wisnu setelah itu.
“Saya pun akhirnya memutuskan untuk menjadi pedagang asongan,” tutur Wisnu.
Hidup sebagai pedagang asongan sungguh berat. Sering kali, Wisnu justru tidak memperoleh uang untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika saat dalam keadaan lapar, ada seorang ibu yang sudah Wisnu kenal mengajaknya ke rumah.
Ibu tersebut memperlakukan Wisnu dengan baik. Ia dianggap seperti keluarga sendiri. Dia memposisikan saya sebagai anak dia. “Mama saya pun tidak memperlakukan saya seperti ibu tersebut,” imbuh Wisnu.
Wisnu sempat terhibur dengan perhatian dan kasih yang ditunjukkan sang ibu kepadanya. Hanya saja, itu tidak membuatnya jadi orang baik. Di Cirebon, ia justru berperilaku buruk.
“Yang tadi gak doyan mabuk jadi ikut-ikutan kayak mereka,” tandas Wisnu.
Waktu kerusuhan Mei 1997, Wisnu dan teman-teman membongkar satu toko terbesar yang ada di Cirebon. Barang-barang yang bisa dikonsumsi mereka jarah.
Tindakan mereka tersebut ternyata diketahui tetangga. Tidak ingin berurusan dengan pihak berwajib, Wisnu kabur ke Jakarta. Di ibukota, ia hidup menggelandang. Ia tidur di mana saja. Bahkan untuk makan, ia harus makan dari sisa makanan orang lain.
Berjalan waktu, Wisnu mengalami kejenuhan dengan kehidupan yang ia jalani. Pada suatu hari ketika sedang tidur di emperan toko, ia didekati seorang pria setengah baya dan mengajaknya ke kolong jembatan. Ternyata pria itu memintanya melakukan perbuatan yang kurang patut. Merasa jijik dan ketakutan, ia pun melarikan saat kesempatan terbuka.
Wisnu pun kembali ke keluarganya yang di Jakarta. Pihak keluarga di Jakarta pun menghubungi papanya yang ada tinggal di luar kota.
“Papa saya pun datang. Ketika kami berjumpa, papa saya langsung memeluk saya.”
Wisnu dan papa saling bermaafan. Peristiwa itu begitu mengharukan baginya. Sang papa kemudian mengatakan bahwa mamanya ingin bertemu. Wisnu sempat tidak percaya dengan apa yang dikatakan sang papa mengingat perlakuan yang ia terima dari sang mama. Namun, ia menuruti perkataan sang papa.
Sesampainya Wisnu di rumah, sang mama langsung memeluknya dengan erat. Ia bahkan dibelai dan dicium. Sungguh, hal itu menyukakan hatinya, lebih daripada kesenangan yang ia dapatkan sebelum-sebelumnya di luar sana.
“Dipulihkan bersama orangtua, ketemu mama, seperti saya diterima lagi. Jadi saya boleh berpikir, saya harus berubah. Saya harus bisa menemukan masa depan saya seperti apa. Akhirnya singkat cerita, ada satu kerinduan untuk tahu suatu kebenaran,” kata Wisnu.
Waktu berjalan, Wisnu ternyata jatuh lagi ke kehidupan lama. Ketika pulang di dalam keadaan mabuk, karena kelelahan, ia pun tertidur. Saat tertidur itulah ia mendapatkan sebuah mimpi.
“Di situ saya melihat orang lari tunggang-langgang, mereka berteriak ‘kiamat, kiamat’. Tiba-tiba saya melihat di arah Timur dan Barat, ada cahaya yang terang banget dan di atas cahaya itu saya melihat ada satu sosok,” kenang Wisnu.
Sosok itu mendekati Wisnu dan mengulurkan tangannya dan seketika itu juga ia mengetahui bahwa sosok tersebut adalah Tuhan Yesus dan dengan bahasa tubuh-Nya, Tuhan Yesus ingin menyatakan bahwa Dia adalah Jalan, Alfa dan Omega.
“Waktu saya dapat mimpi itu, saya simpan di dalam hati saya. Saya minta ampun kepada Tuhan. Namanya umur manusia, tidak ada yang tahu. Bisa saja hari ini saya ada, besok tidak ada,” ujar Wisnu.
Singkat kisah, Wisnu menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi. Ia meyakini setelah kematian, ada kehidupan kekal yang akan akan alami. Semenjak itu, ia pun mulai sungguh-sungguh di dalam Tuhan.
Hubungan Wisnu dengan orangtua lambat laun semakin membaik setiap harinya. Ia bahkan bersyukur dianugerahi seorang istri dan anak-anak yang sehat.
Bagi Wisnu, Tuhan Yesus bukanlah Tuhan yang biasa. Menurutnya, Dia lebih daripada itu. “Tuhan Yesus itu adalah Tuhan semua orang, yang mau menerima siapapun, yang membuka tangannya dan menerimanya sebagai Juruselamat, itu Tuhan Yesus,” pungkas Wisnu.
Sumber : Wisnu Derwanto